Pendidikan di
Indonesia: Tak Sekedar Mencari Ijazah dan Gelar
Oleh:
Ahmad Zaenuri,
S.Pd.I*
A.
Pendahuluan
Ujian
Nasional (UN) Tahun Ajaran 2013/2014 untuk siswa SMA/MA/SMK/MAK baru saja
selelesai dilaksanakan. Tak pelak, banyak peristiwa menarik yang musti
dicermati mengiringi prosesi tahunan ini. Mulai dari soal ujian yang
diindikasikan terdapat unsur politisasi,[1]
sampai pada kecurangan yang terjadi di sana-sini. Di Klaten misalnya, orang tua
siswa dengan sengaja memerintahkan keponakannya untuk menggantikan (menjadi
joki) anaknya yang tidak bisa mengikuti ujian karena sedang mengikuti karantina
persiapan bekerja di Korea.[2] Kebocoran
soal-soal ujian juga dimungkinkan masih terjadi berbagai daerah, khususnya
daerah yang minim pengawasan.
Berbagai
fenomena yang terjadi di atas menunjukkan bahwa pendidikan Indonesia belum sepenuhnya
mampu mencapai cita-cita mulia dalam membentuk karakter bangsa. Pendidikan
masih sebatas “pencitraan” dalam rangka memperoleh gelar dan ijazah sehingga
dapat meningkatkan status sosial masyarakat, walaupun harus mengorbankan sikap
kejujuran dan akuntabilitas. Sementara disisi lain, orang akan malu jika
dikatakan tidak lulus karena lebih mengepankan kejujuran dan kepercayaan diri.
Inilah hal yang kemudian dikhawatirkan oleh Mohandas K Gandhi sebagai ancaman
yang mematikan, yaitu ketika pendidikan tidak memperhatikan nilai-nilai
karakter lagi.[3]
Lantas,
apa yang salah dalam sistem pendidikan negeri ini? Pada satu sisi seorang guru
dan kepala sekolah bermaksud mengedapankan kejujuran dan keadilan, sementara
disisi lain masyarakat akan menghakimi jika siswa di sekolahnya tidak ada yang
lulus. Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan Nasional bermaksud menjadikan
UN sebagai instrumen untuk mengukur kualitas pendidikan nasional, sementara
dalam praktiknya sistem tersebut justu menimbulkan kecurangan atau
setidak-tidaknya “memaksa” siswa dan guru untuk berbuat curang.
Sekedar
melihat sistem pendidikan di negara-negara yang dianggap baik seperti Finlandia[4]
misalnya. Finlandia tidak menggunakan ujian nasional sebagai parameter
kelulusan siswa.[5]
Jam belajar siswa juga tidak banyak seperti di Indonesia dengan jumlah mata
pelajaran yang beragam. Tetapi Finlandia disebut-sebut sebagai negara yang
sistem pendidikannya menduduki posisi terbaik. Jam belajar di Finlandia memang
relatif lebih sedikit dibandingkan dengan Indonesia, namun siswa dibekali
pembelajaran tutorial yang dapat dijadikan bahan untuk belajar mandiri dirumah.
Dengan demikian, maka tri sentra pendidikan sebagaimana diungkapkan Ki Hajar
Dewantara yaitu, guru, orang tua dan masyarakat dapat berperan aktif di negeri
Nokia ini.
Bagaimana
dengan sistem pendidikan di Indonesia, mungkinkah bisa menerapkan sistem
pembelajaran tutorial? Menurut hemat penulis, mungkin saja, khususnya bagi
siswa yang memiliki orang tua dengan latar belakang ekonomi menengah ke atas,
tetapi bagi siswa yang latar belakang ekonomi keluarganya rendah, rasa-rasanya
sistem tersebut masih jauh panggang dari api. Siswa dengan latar belakang
ekonomi orang tua rendah cenderung menjadikan waktu luang digunakan untuk
membantu ekonomi keluarga, seperti berjualan di toko milik keluarga, memberi
makan ternak, sampai menjaga adik-adiknya di rumah yang ditinggal orang tua untuk
bekerja. Dengan demikian, yang seharusnya siswa memiliki waktu belajar di rumah,
harus tersita dengan kegiatan-kegiatan yang menghimpit ekonomi keluarga.
Begitu
berharganya selembar kertas─dengan tulisan Ijazah─ternyata telah mengaburkan
fungsi pendidikan sebagaimana dalam UUD 1945 dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa. Tidak jarang perilaku-perilaku curang juga dilakukan demi mendapatkan
ijazah tersebut. Dampak negatifnya, perilaku curang dalam lembaga pendidikan
ini akhirnya terbawa dalam ranah yang lebih luas seperti negara. Tidak heran
jika kemudian perilaku korupsi, kolusi, dan mark
up kerap terjadi di negeri ini.
Demi
menghalau sikap-sikap seperti di atas, dibutuhkan seperangkat konsep yang baik
dalam rangka menciptakan pendidikan yang berkualitas. Kualitas tersebut tidak
hanya dilihat pada banyaknya siswa yang lulus dari sebuah lembaga pendidikan,
akan tetapi sejauhmana lembaga pendidikan mampu mencerdaskan masyarakat. Dalam
bahasa sederhana Gramscy pendidikan hendaknya menumbuhkan sikap kesadaran
kritis dalam masyarakat.[6] Sejatinya,
prinsip pendidikan yang mencerdaskan tanpa harus dengan gelar dan ijazah sudah
berkembang di Indonesia lewat pendidikan pesantren. Seiring berjalannya waktu
lembaga pendidikan ini harus menyesuaikan dengan lembaga pendidikan lainya demi
ketertiban administrasi.
B.
Hakikat
Tujuan Pendidikan
Tujuan utama pendidikan
sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yaitu
untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab.[7]
Dalam tujuan tersebut terlihat jelas bahwa pendidikan tidak dimaksudkan untuk
memperoleh gelar dan status sosial. Gelar dan status sosial hanya diberikan sebagai
tanda telah menempuh jenjang pendidikan yang pernah dilaluinya. Lebih konkrit
lagi, Ijazah hanyalah merupakan bukti legal formal bahwa seseorang telah
selesai menempuh pendidikan.
Imam Abu Hamid
Al-Ghazali secara lebih khusus merumuskan tujuan pendidikan yaitu dalam rangka
pencapaian ilmu agama dan akhlak. Menurutnya akhlak yang baik itu adalah sifat
bagi rasul, dan perbuatan yang baik bagi orang-orang yang benar.[8]
Dengan menggunakan kerangka berfikir Al-Ghazali tersebut maka sejatinya pendidikan
ditujukan dalam rangka membentuk aklah mulia sebagaimana yang diteladankan para
rasul atau lebih tepatnya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt.
Jika konsep Al-Ghazali
ini dapat diterapkan, maka pendidikan hampir dapat dipastikan akan memiliki ruh
yang lebih jauh kedepan. Hal ini dikarenakan konsep pendidikan yang disampaikan
oleh al-Ghazali orientasinya bukan hanya di dunia yang profan tetapi memiliki
dimensi-dimensi ilahiyah yang bernuansa transenden dan abadi.
C.
Mengembalikan
Jati Diri Pendidikan
Tidak
dipungkiri telah terjadi orientasi pendidikan sejak masa kolonial Belanda. Pendidikan
pesantren yang dianggap tidak mendukung pemerintah kolonial akhirnya
dikeluarkan dalam daftar statistik pemerintah Hindia Belanda.[9] Hal
ini mudah saja dicarikan alasannya karena pesantren dianggap sebagai sarang
pemberontak. Sementara itu, disatu sisi lain pendidikan kolonial terus
dikembangkan dalam rangka mendapatkan pekerja-pekerja ahli dari penduduk
pribumi. Sistem pendidikan yang bermesraan dengan elit kuasa di atas, terus bergulir
dari waktu kewaktu.
Pada
masa demokrasi terpimpin, isu-isu sosialisme semakin gencar disuarakan.
Pendidikan pun menjadi sasaran dari isu utama tersebut. Pada masa ini
pendidikan lebih dioreintasikan dalam rangka membentuk manusia yang sosialis,
idealis dan pro akan revolusi. Titik kulminasinya manifesto politik (Manipol)
yang kemudian berkembang menjadi Manipol-USDEK (UUD 1945, Sosialisme Indonesia,
Demokrasi ala Indonesia, Ekonomi Terpimpin, dan Keadilan Sosial) dijadikan mata
kuliah wajib di seluruh perguruan tinggi Indonesia.[10]
Setelah demokrasi terpimpin lengser dan pucuk
pimpinan berpindah pada kekuasaan Orde Baru, orientasi pendidikan juga
berganti. Pada masa ini term-term pembangunan menjadi isu utama dengan gaung
REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Dampaknya, pada masa ini pendidikan
lebih diorientasikan pada pengembangan sumber daya manusia dalam rangka membangun
bangsa yang baru bangkit dari penjajahan.
Kejatuhan kepemimpinan
orde baru dan berganti pada masa reformasi, menjadikan orientasi pendidikan
juga berganti. Jika sebelumnya pendidikan diutamakan dalam rangka membangun
bangsa yang baru bangkit dari penjajahan, maka pada masa reformasi pendidikan
dimaksudkan untuk menguasai tema-tema yang berbau teknologi. Maka muncullah
sekolah-sekolah seperti Insan Cendekia yang mencoba menggabungkan
intelektualitas muslim dengan perkembangan teknologi. Tidak dipungkiri peran mantan
Presiden Habibi sangat besar disini.
Bagaimana
dengan Islam?
Dalam Islam, tujuan utama manusia di muka dunia ini
adalah untuk beribadah kepada-Nya. Karena pendidikan merupakan salah satu
aktivitas manusia di dunia, maka seyogyanya tujuan utama pendidikan adalah
untuk menggapai ridha ilahi. Dengan dasar ridho ilahi, maka segala hasil buah
pendidikan harus dimanfaatkan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Jika
dengan pendidikan dapat menghasilkan teknologi misalnya, maka teknologi bukan
dimanfaatkan untuk menghancurkan kehidupan yang mendatangkan murka Allah,
melainkan untuk menciptakan kemaslahatan bersama demi kelangsungan kehidupan
ummat manusia. Wallahuta’ala ‘alam.
*Mahasiswa Program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga, Program Studi Pendidikan Islam, Konsentrasi Pendidikan
Agama Islam, 2012.
[1]Di Jawa tengah, soal ujian
nasional bahasa Indonesia untuk siswa SMA/SMK/sederajat menyebutkan salah satu
nama calon presiden yaitu Joko Widodo dari Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) dalam salah satu soalnya. Selain menyebutkan nama, dalam soal
tersebut siswa juga diminta untuk menunjukkan sikap keteladan yang dapat
diambil dari tokoh dimaksud. Lihat Andri Saubani, “Menyusup Dalam Soal Ujian”
dalam Harian Republika, Edisi Selasa
15 April 2014, hlm. 1.
[2]Oda, “Joni Deg-degan Jadi Joki
UN” dalam Harian Pagi: Tribun Jogja, hlm.
1.
[3]Yudi
Latif, Menyemai Karakter Bangsa: Budaya
Kebangkitan Berbasis Kesastraan, (Jakarta: Kompas, 2009), hlm. 39.
[4]Finlandia merupakan sebuah negara
kecil yang terletak di Eropa Utara. Luas wilayahnya lebih kurang 330.000 km2,
sangat jauh berbeda dengan Propinsi Yogyakarta yang luasnya mencapai 3.185,80
km2. Wajar jika kemudian Finlandia menempati urutan ke-162 dalam
kepadatan penduduk dunia. wikipedia.com.
[5]Darmaningtyas, “Bercermin Pada
Pendidikan Finlandia” dalam Koran Tempo, Edisi
31 Agustus 2013.
[6]Mansour Fakih, “Gramsci di
Indonesia: Pengantar” dalam Roger Simon, Gramci’s
Political Thought, terj. Kamdani & Imam Baihaqi (Yogyakarta: Insist
Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2004), hlm. xvi.
[7]Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun
2003, (Bandung: Citra Umbara, 2010), hlm. 6.
[8]Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pendidikan Islam: Hadharah Keilmuan
Tokoh Klasik Sampai Modern, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 114.
[9]M. Sirozy, Politik Pendidikan: Dinamika Hubungan antara Kekuasaan dan Praktik
Penyelenggaraan Pendidikan, (Yogyakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), hlm.
vi.
[10]Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa
Demokrasi Terpimpin (1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm.
50.