Jumat, 25 April 2014

Wajah Pendidikan Di Indonesia (KPK 24/4/2014)



Pendidikan di Indonesia: Tak Sekedar Mencari Ijazah dan Gelar

Oleh:
Ahmad Zaenuri, S.Pd.I*


A.    Pendahuluan
            Ujian Nasional (UN) Tahun Ajaran 2013/2014 untuk siswa SMA/MA/SMK/MAK baru saja selelesai dilaksanakan. Tak pelak, banyak peristiwa menarik yang musti dicermati mengiringi prosesi tahunan ini. Mulai dari soal ujian yang diindikasikan terdapat unsur politisasi,[1] sampai pada kecurangan yang terjadi di sana-sini. Di Klaten misalnya, orang tua siswa dengan sengaja memerintahkan keponakannya untuk menggantikan (menjadi joki) anaknya yang tidak bisa mengikuti ujian karena sedang mengikuti karantina persiapan bekerja di Korea.[2] Kebocoran soal-soal ujian juga dimungkinkan masih terjadi berbagai daerah, khususnya daerah yang minim pengawasan.
            Berbagai fenomena yang terjadi di atas menunjukkan bahwa pendidikan Indonesia belum sepenuhnya mampu mencapai cita-cita mulia dalam membentuk karakter bangsa. Pendidikan masih sebatas “pencitraan” dalam rangka memperoleh gelar dan ijazah sehingga dapat meningkatkan status sosial masyarakat, walaupun harus mengorbankan sikap kejujuran dan akuntabilitas. Sementara disisi lain, orang akan malu jika dikatakan tidak lulus karena lebih mengepankan kejujuran dan kepercayaan diri. Inilah hal yang kemudian dikhawatirkan oleh Mohandas K Gandhi sebagai ancaman yang mematikan, yaitu ketika pendidikan tidak memperhatikan nilai-nilai karakter lagi.[3]
            Lantas, apa yang salah dalam sistem pendidikan negeri ini? Pada satu sisi seorang guru dan kepala sekolah bermaksud mengedapankan kejujuran dan keadilan, sementara disisi lain masyarakat akan menghakimi jika siswa di sekolahnya tidak ada yang lulus. Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan Nasional bermaksud menjadikan UN sebagai instrumen untuk mengukur kualitas pendidikan nasional, sementara dalam praktiknya sistem tersebut justu menimbulkan kecurangan atau setidak-tidaknya “memaksa” siswa dan guru untuk berbuat curang.
            Sekedar melihat sistem pendidikan di negara-negara yang dianggap baik seperti Finlandia[4] misalnya. Finlandia tidak menggunakan ujian nasional sebagai parameter kelulusan siswa.[5] Jam belajar siswa juga tidak banyak seperti di Indonesia dengan jumlah mata pelajaran yang beragam. Tetapi Finlandia disebut-sebut sebagai negara yang sistem pendidikannya menduduki posisi terbaik. Jam belajar di Finlandia memang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan Indonesia, namun siswa dibekali pembelajaran tutorial yang dapat dijadikan bahan untuk belajar mandiri dirumah. Dengan demikian, maka tri sentra pendidikan sebagaimana diungkapkan Ki Hajar Dewantara yaitu, guru, orang tua dan masyarakat dapat berperan aktif di negeri Nokia ini.
            Bagaimana dengan sistem pendidikan di Indonesia, mungkinkah bisa menerapkan sistem pembelajaran tutorial? Menurut hemat penulis, mungkin saja, khususnya bagi siswa yang memiliki orang tua dengan latar belakang ekonomi menengah ke atas, tetapi bagi siswa yang latar belakang ekonomi keluarganya rendah, rasa-rasanya sistem tersebut masih jauh panggang dari api. Siswa dengan latar belakang ekonomi orang tua rendah cenderung menjadikan waktu luang digunakan untuk membantu ekonomi keluarga, seperti berjualan di toko milik keluarga, memberi makan ternak, sampai menjaga adik-adiknya di rumah yang ditinggal orang tua untuk bekerja. Dengan demikian, yang seharusnya siswa memiliki waktu belajar di rumah, harus tersita dengan kegiatan-kegiatan yang menghimpit ekonomi keluarga.
            Begitu berharganya selembar kertas─dengan tulisan Ijazah─ternyata telah mengaburkan fungsi pendidikan sebagaimana dalam UUD 1945 dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tidak jarang perilaku-perilaku curang juga dilakukan demi mendapatkan ijazah tersebut. Dampak negatifnya, perilaku curang dalam lembaga pendidikan ini akhirnya terbawa dalam ranah yang lebih luas seperti negara. Tidak heran jika kemudian perilaku korupsi, kolusi, dan mark up kerap terjadi di negeri ini.   
            Demi menghalau sikap-sikap seperti di atas, dibutuhkan seperangkat konsep yang baik dalam rangka menciptakan pendidikan yang berkualitas. Kualitas tersebut tidak hanya dilihat pada banyaknya siswa yang lulus dari sebuah lembaga pendidikan, akan tetapi sejauhmana lembaga pendidikan mampu mencerdaskan masyarakat. Dalam bahasa sederhana Gramscy pendidikan hendaknya menumbuhkan sikap kesadaran kritis dalam masyarakat.[6] Sejatinya, prinsip pendidikan yang mencerdaskan tanpa harus dengan gelar dan ijazah sudah berkembang di Indonesia lewat pendidikan pesantren. Seiring berjalannya waktu lembaga pendidikan ini harus menyesuaikan dengan lembaga pendidikan lainya demi ketertiban administrasi.

B.     Hakikat Tujuan Pendidikan                
Tujuan utama pendidikan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yaitu untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.[7] Dalam tujuan tersebut terlihat jelas bahwa pendidikan tidak dimaksudkan untuk memperoleh gelar dan status sosial. Gelar dan status sosial hanya diberikan sebagai tanda telah menempuh jenjang pendidikan yang pernah dilaluinya. Lebih konkrit lagi, Ijazah hanyalah merupakan bukti legal formal bahwa seseorang telah selesai menempuh pendidikan.
Imam Abu Hamid Al-Ghazali secara lebih khusus merumuskan tujuan pendidikan yaitu dalam rangka pencapaian ilmu agama dan akhlak. Menurutnya akhlak yang baik itu adalah sifat bagi rasul, dan perbuatan yang baik bagi orang-orang yang benar.[8] Dengan menggunakan kerangka berfikir Al-Ghazali tersebut maka sejatinya pendidikan ditujukan dalam rangka membentuk aklah mulia sebagaimana yang diteladankan para rasul atau lebih tepatnya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt.
Jika konsep Al-Ghazali ini dapat diterapkan, maka pendidikan hampir dapat dipastikan akan memiliki ruh yang lebih jauh kedepan. Hal ini dikarenakan konsep pendidikan yang disampaikan oleh al-Ghazali orientasinya bukan hanya di dunia yang profan tetapi memiliki dimensi-dimensi ilahiyah yang bernuansa transenden dan abadi.

C.    Mengembalikan Jati Diri Pendidikan
Tidak dipungkiri telah terjadi orientasi pendidikan sejak masa kolonial Belanda. Pendidikan pesantren yang dianggap tidak mendukung pemerintah kolonial akhirnya dikeluarkan dalam daftar statistik pemerintah Hindia Belanda.[9] Hal ini mudah saja dicarikan alasannya karena pesantren dianggap sebagai sarang pemberontak. Sementara itu, disatu sisi lain pendidikan kolonial terus dikembangkan dalam rangka mendapatkan pekerja-pekerja ahli dari penduduk pribumi. Sistem pendidikan yang bermesraan dengan elit kuasa di atas, terus bergulir dari waktu kewaktu.
Pada masa demokrasi terpimpin, isu-isu sosialisme semakin gencar disuarakan. Pendidikan pun menjadi sasaran dari isu utama tersebut. Pada masa ini pendidikan lebih dioreintasikan dalam rangka membentuk manusia yang sosialis, idealis dan pro akan revolusi. Titik kulminasinya manifesto politik (Manipol) yang kemudian berkembang menjadi Manipol-USDEK (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi ala Indonesia, Ekonomi Terpimpin, dan Keadilan Sosial) dijadikan mata kuliah wajib di seluruh perguruan tinggi Indonesia.[10]       
 Setelah demokrasi terpimpin lengser dan pucuk pimpinan berpindah pada kekuasaan Orde Baru, orientasi pendidikan juga berganti. Pada masa ini term-term pembangunan menjadi isu utama dengan gaung REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Dampaknya, pada masa ini pendidikan lebih diorientasikan pada pengembangan sumber daya manusia dalam rangka membangun bangsa yang baru bangkit dari penjajahan.  
Kejatuhan kepemimpinan orde baru dan berganti pada masa reformasi, menjadikan orientasi pendidikan juga berganti. Jika sebelumnya pendidikan diutamakan dalam rangka membangun bangsa yang baru bangkit dari penjajahan, maka pada masa reformasi pendidikan dimaksudkan untuk menguasai tema-tema yang berbau teknologi. Maka muncullah sekolah-sekolah seperti Insan Cendekia yang mencoba menggabungkan intelektualitas muslim dengan perkembangan teknologi. Tidak dipungkiri peran mantan Presiden Habibi sangat besar disini.

Bagaimana dengan Islam?
            Dalam Islam, tujuan utama manusia di muka dunia ini adalah untuk beribadah kepada-Nya. Karena pendidikan merupakan salah satu aktivitas manusia di dunia, maka seyogyanya tujuan utama pendidikan adalah untuk menggapai ridha ilahi. Dengan dasar ridho ilahi, maka segala hasil buah pendidikan harus dimanfaatkan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Jika dengan pendidikan dapat menghasilkan teknologi misalnya, maka teknologi bukan dimanfaatkan untuk menghancurkan kehidupan yang mendatangkan murka Allah, melainkan untuk menciptakan kemaslahatan bersama demi kelangsungan kehidupan ummat manusia. Wallahuta’ala ‘alam.


*Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Program Studi Pendidikan Islam, Konsentrasi Pendidikan Agama Islam, 2012.
[1]Di Jawa tengah, soal ujian nasional bahasa Indonesia untuk siswa SMA/SMK/sederajat menyebutkan salah satu nama calon presiden yaitu Joko Widodo dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam salah satu soalnya. Selain menyebutkan nama, dalam soal tersebut siswa juga diminta untuk menunjukkan sikap keteladan yang dapat diambil dari tokoh dimaksud. Lihat Andri Saubani, “Menyusup Dalam Soal Ujian” dalam Harian Republika, Edisi Selasa 15 April 2014, hlm. 1.
[2]Oda, “Joni Deg-degan Jadi Joki UN” dalam Harian Pagi: Tribun Jogja, hlm. 1.
[3]Yudi Latif, Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan, (Jakarta: Kompas, 2009), hlm. 39.
[4]Finlandia merupakan sebuah negara kecil yang terletak di Eropa Utara. Luas wilayahnya lebih kurang 330.000 km2, sangat jauh berbeda dengan Propinsi Yogyakarta yang luasnya mencapai 3.185,80 km2. Wajar jika kemudian Finlandia menempati urutan ke-162 dalam kepadatan penduduk dunia. wikipedia.com.
[5]Darmaningtyas, “Bercermin Pada Pendidikan Finlandia” dalam Koran Tempo, Edisi 31 Agustus 2013.
[6]Mansour Fakih, “Gramsci di Indonesia: Pengantar” dalam Roger Simon, Gramci’s Political Thought, terj. Kamdani & Imam Baihaqi (Yogyakarta: Insist Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2004), hlm. xvi.
[7]Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003, (Bandung: Citra Umbara, 2010), hlm. 6.
[8]Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pendidikan Islam: Hadharah Keilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 114.
[9]M. Sirozy, Politik Pendidikan: Dinamika Hubungan antara Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan, (Yogyakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. vi.  
[10]Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 50.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar